Konnichiwa Jepang

KONNICHIWA NIHON! Peserta JENESYS2.0(3rd Batch) Ms Thalita C. P. S. / Jurusan Biologi – UNSRAT

    Meskipun dosen-dosen di kampus berpendapat saya mirip orang Jepang dan pramugari-pramugari Japan Airlines berbahasa Jepang ketika menawari saya minuman, Negara Matahari Terbit masih misterius bagi saya. Berbekal beberapa simple phrases bahasa Jepang yang dituliskan dalam handbook Jenesys2.0 batch 3, perlengkapan yang dibutuhkan sebagai duta bangsa, 2 lembar Japan Yen, dan tentunya passport, saya ke Jepang. Excitement yang meluap-luap di tempat yang sama sekali baru bersama orang-orang asing bikin saya agak mati gaya pada awalnya. Saya panik ketika saya mengira koper saya hilang saat turun dari bis di Hotel Nikko Narita. Tambah panik ketika melihat pengemudi bis dan bapak-bapak panitia lebih kelimpungan dari saya mencari-cari koper saya yang ternyata berada tidak lebih dari 3 meter dari saya. Mulai saat itu saya tau orang-orang di sekeliling saya bukanlah orang asing.
    Di Tokyo suasana sudah mulai hangat. Saya melihat pemandangan yang sungguh tidak biasa dilihat di rumah. Begitu banyak pohon di tengah-tengah gedung-gedung perkantoran maupun apartment dan selalu ada kehijauan di tepi sungai yang bersih. Walau hanya terlihat dari dalam bis yang sedang melaju di jalan tol, keadaan kota yang demikian sungguh menyejukan. Waktu yang terlalu sempit untuk menikmati Tokyo tentunya tidak saya sia-siakan. Awalnya saya memang ingin ke pusat kota yang katanya seperti Times Square di New York dan kita bisa melihat cosplay yang begitu atraktif, tetapi hasrat memotret Tokyo Tower tidak bisa dipendam. Dengan pemikiran ‘nanti ‘kan bisa tanya-tanya sama satpam atau polisi’ saya berangkat sendiri ke Tokyo Tower. Saya mulai deg-degan ketika saya tidak menemukan polisi ataupun satpam di stasiun kereta terdekat (Kokusai-tenjijo). Namun, keramahan penjaga information desk (meskipun saya hampir menerobos palang karena tidak tau dimana tempat membeli tiket), orang-orang Jepang—tua maupun muda—yang saya tanyai di stasiun, informasi yang tersedia dimana-mana (termasuk jam kedatangan kereta yang tergantung pada langit-langit stasiun), kenyamanan stasiun maupun kereta dan subway membuat saya merasa sangat aman. Saya merekomendasikan untuk mengeksplor Tokyo by your own, Anda akan belajar lebih banyak dari yang Anda harapkan. Saya belajar banyak hal dari perjalanan malam itu, salah satunya adalah kebiasaan berdiri di sebelah kiri ketika naik eskalator agar bagian kanan dapat digunakan oleh orang yang sedang terburu-buru. Saya sangat berterimakasih kepada orang-orang Jepang yang walau tidak berbahasa Inggris tetap mau berusaha menjawab ketika saya bertanya. Kali ini giliran saya yang merasa bahwa saya bukan orang asing.
    Kumamoto mirip Indonesia tetapi lebih rapi, bersih, dan tertata. Dan penuh dengan kejutan. Orang-orangnya tidak kalah ramah dari penduduk Tokyo. Semua peserta terheran dan senyum-senyum sendiri ketika teman-teman mahasiswa, staf dan dosen PUK (Prefectural University of Kumamoto) menyambut kami dengan tepuk tangan. Penyambutan hangat seperti itu juga kami terima pada welcome party dan malam kebudayaan di Takahashi Inari Shrine dari siswa-siswa SMP di Kumamoto. Kumamoto patut dijadikan kota percontohan banyak kota di Indonesia. Industri agrikultural yang sangat berkembang tidak membuat kemajuan advanced technology terhambat. Keberadaan NTT West dengan proyek Smart Hikari Town Kumamoto membuktikan Jepang berhasil melestarikan keindahan budayanya (spot pariwisata, kepedulian yang sangat tinggi pada orang-orang lanjut usia dan orang-orang cacat) sembari mempertahankan predikat hi-tech country. Di hari terakhir koordinator kelompok saya berkata bahwa masih banyak tempat di Jepang yang lebih bagus daripada Kumamoto. Tetapi pengalaman berada di Kumamoto selama 4 hari seakan membuat saya lebih ingin kembali ke Kumamoto dari pada ke tempat lain on my next Japan trip—belum tahu kapan lagi. Namun, itu bukan berarti saya tidak mau belajar lebih banyak di tempat-tempat lain di Jepang karena Jepang menjanjikan Endless Discovery bagi para pendatang seperti yang tertera pada papan penyambutan di bandara. (Penulis: Thalita C. P. S. / Jurusan Biologi – UNSRAT)